Kamis, 25 Agustus 2016

Sejarah Singkat Sarung Tenun Samarinda

Sejarah Sarung Tenun Samarinda
        Sarung Samarinda atau Tajong Samarinda adalah jenis kain tenunan tradisional yang bisa didapatkan di kota Samarinda, Kalimantan Timur. Kerajinan tenun sarung ini pada mulanya dibawa oleh pendatang suku Bugis dari Sulawesi yang berdiam dikawasan Tanah Rendah (sekarang bernama Samarinda Seberang) pada tahun 1668 yang menjadi cikal - bakal pendirian Kota Samarinda.
        Kerajinan ini berasal dari daerah Sulawesi Selatan, dibawa oleh orang - orang Bugis ke Samarinda tepatnya Samarinda Seberang pada sekitar abad ke 18, berkaitan erat dengan sejarah kedatangan suku Bugis ke Kalimantan Timur.
         Sebenarnya daerah asal kerajinan tersebut ialah Sulawesi Selatan, yang datang ke Samarinda bersamaan dengan datangnya suku Bugis ke daerah ini. Sekarang terkenal sebagai hasil spesifik Samarinda, sejak abad ke 18.


         Sejarahnya tentunya terkait erat dengan sejarah kedatangan keluarga Lamadu Kelleng dan Lamohang Daeng Mangkona. Dalam perantaunnya meninggalkan daerah asal, sampai ke Samarinda dan menetap di Samarinda Seberang.
          Menurut lontara atau silsilah kedatangan suku bugis, berawal dari kedatangan suku Bugis ke tanah Kutai pada tahun 1665 ketika terjadi kerusuhan di kerajaan Bone. Kerusuhan tersebut terjadi saat berlangsungnya pernikahan antara putra kerajaan Goa dengan putri Sultan Bone, dimana La Ma Dukelleng menikam bangsawan tinggi kerajaan Bone ketika diadakan sabung ayam saat upacara pernikahan tersebut hingga tewas.
           Maka terjadilah peperangan yang tak seimbang sehingga La Ma Dukellang beserta 3 putranya beserta 8 orang bangsawan Wajo ditambah 200 pengiring dengan kelengkapan 14 perahu layar meninggalkan Wajo menuju Tanah Kutai.
           Tetapi mereka kehabisan perbekalan ditengah perjalanan dan berlabuh di pasir. Kemudian banyak orang - orang dari Wajo dan Sopeng berdatangan karena tidak tahan dijajah oleh kerajaan Bone. Karena semakin banyaknya pendatang kemudian diadakan musyawarah besar, dan dari hasil musyawarah itu Lamohang Daeng Mangkona diperintahkan pergi ke Kutai untuk berusaha, pada mulanya kerajaan Kutai dibawah pimpinan.
             Pangeran Dipati Mojo Kusumo memberi rombongan Lamohang Daeng Mangkona sebidang tanah di daerah Loa Buah, tetapi kemudian diberi diwilayah Samarinda Seberang. Semenjak itu Samarinda Seberang dibangun oleh Lamohang Daeng Mangkona dan ia memerintah rakyatnya dengan gelar Pua Ado. Demikianlah bahwa sarung Samarinda sebagai salah satu hasil budaya suku Bugis yang dibawa dari tanah asalnya dan dikembangkan sebagai usaha keluarga atau home industri, sampai kini terkenal sampai mancanegara sebagai hasil budaya khas daerah Kalimantan Timur.

Selasa, 23 Agustus 2016

Kampung Tenun dan Rumah Adat

Kampung Tenun dan Rumah Adat, Kel. Tenun Samarinda Seberang




Samarinda yang ibu kota dari Provinsi Kalimantan Timur, selama ini dikenal sebagai kota perdagangan yang sibuk sejak dahulu. Namun dibalik hiruk pikuknya kota seluas 718 kilometer persegi ini ternyata menyimpan sebuah obyek wisata yang sayang untuk dilewatkan, namanya adalah kampung Kelompok Pengrajin Sarung Tenun Samarinda Berdikari. Letaknya di jalan Pangeran Bendahara, gang Karya Muharam, kelurahan Tenun, Mesjid dan Baqa, Kecamatan Samarinda Seberang.





Sarung Samarinda merupakan kerajinan asli Kota Samarinda dan kerajinan ini merupakan hasil kerajinan warga suku bugis yang bermukim di sekitar Gang.Pertenunan, Kel. Tenun, Samarinda Seberang, Kalimantan Timur. Keahlian dari menenun yang dimiliki oleh warga tersebut adalah keahlian turun-temurun dari nenek moyang mereka yaitu sebagai penenun.Paraperajin ini rata-rata tinggal di Kelurahan Tenun, Samarinda Seberang. Rumah yang rata-rata terbuat dari kayu itulah kain sarung tenun Samarinda dibuat dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM).  Menginjakan  kaki di rumah panggung tua saat itu saya dan teman-teman dimanjakan sejumlah pemandangan. Selain melihat peninggalan bersejarah yang menjadi cikal bakal terbentuknya kotaberjuluk Tepian ini, bunyi tumbukan kayu pun terdengar unik didalam rumah panggung itu. Suara itu berasal dari alat tenun di sejumlah rumah warga setempat yang bekerja sebagai pengrajin kain yang akan dijadikan Sarung Samarinda. Hampir semua warga di sana menghabiskan waktunya dengan menenun.
Wajar saja apabila harga dari Sarung Tenun Samarinda bisa dikatakan relative mahal karena hal tersebut sesuai dengan proses pembuatan Sarung Tenun tersebut yang bukan memakai mesin tetapi dengan Tenun Tangan. Dan prosesnya memerlukan kejelian dan ketelitian yang sangat besar. Karena sedikit saja kesalahan atau sekecil kesalahan dari  penenunan yang dilakukan, penenunan harus diulang dari nol atau dari awal kembali. Dan hal ini tentu saja bukanlah pekerjaan yang mudah. Sarung Samarinda hasil Tenunan (kerajinan Tangan) oleh suku Bugis ini tidak kalah kualitasnya dengan Sarung yang dibuat dengan memakai mesin. 
Pembuatan kain tersebut tak semudah yang saya kira. Ada proses yang cukup panjang agar benang dapat berubah menjadi kain halus yang siap digunakan. Saat itu saya dijelaskan  langkah pertama yang dilakukan adalah memilih bahan. Benang dipilih agar kualitas kain sesuai dengan yang diharapkan, Kemudian proses pewarnaan. Gumpalan benang yang tak beraturan dimasukkan ke sebuah wajan di atas perapian lengkap dengan zat pewarna. Ketika air sudah mulai memanas, barulah kain tersebut dimasukan hingga berwarna. Setelah itu, benang yang sudah melalui proses pewarnaan dijemur hingga mengering dan siap digunakan. Setelah itu, satu persatu benang dimasukan ke dalam mesin ATBM sesuai dengan motif yang diinginkan. Dari benang hingga menjadi kain, butuh proses yang cukup panjang. Termasuk dijadikan Sarung Samarinda. Perlu kesabaran yang luar biasa agar hasilnya dapat maksimal terutama untuk mengerjakan kain dengan motif yang cukup rumit. 
Setiap penenun dapat membuat satu sarung tenun Samarinda dalam waktu seminggu dengan ukuran panjang 4 meter dan lebar sekitar 50 sentimeter. Itupun untuk motif sederhana dan kecil. Semakin banyak dan besar motif yang diinginkan, maka semakin lama pembuatannya. Rata-rata, paling lama buatnya 15 hari. Para pengrajin mendapatkan keahlian itu dari turun temurun, mereka dalam sebulan dapat membuat 7 hingga 10 sarung tenun Samarinda yang dijual dengan harga sekitar antara Rp. 200.000.- hingga Rp. 500.000,- per buah. Kebanyakan pendatang dari Sulawesi yang menjadi pengrajin sarung Samarinda. Mereka  sudah sekitar 35 tahunan berada di kampung pengrajin sarung Samarinda. Bahkan keahlian itu sudah diwariskan ke anak-anak mereka yang kini meneruskan pekerjaan yang kini dianggap sebagai warisan budaya. Untuk para pencinta sarung Samarinda yang menginginkan motif berbeda, maka bisa langsung mendatangi para penenun dan memberikan motif yang diinginkan. Harga setiap sarung tenun yang diproduksi tergantung berapa banyak motif yang diperlukan. Semakin banyak dan besar motifnya, maka semakin mahal harganya. Selain dapat menikmati sajian budaya tenun Sarung Samarinda, kita juga bisa membeli langsung atau bahkan memesan motif-motif apa yang kita inginkan (tentunya motif khas Samarinda). 





Jika ditarik kesimpulan, ternyata di pinggiran kota Samarinda memiliki potensi wisata yang layak diacungi jempol. Hanya perlu perhatian khusus dari pemerintah daerah setempat untuk mau lebih serius menjaga, merawat serta mengembangkan potensi pariwisata yang ada. Bisa jadi hal ini dapat memajukan pariwisata di Kaltim, khususnya di Kota Samarinda, serta menaikan pendapatan daerah. Dengan adanya kampung tenun sarung samarinda dan rumah adat tersebut, tidak mustahil obyek wisata budaya ini suatu saat akan menjadi situs warisan yang dikenal oleh dunia internasional dan menjadi salah satu tujuan wisata bagi pelancong di seluruh dunia.